JAKARTA (Infosiak.com) – Wajah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise semringah. Kedua matanya berkaca-kaca saat keluar dari ruang rapat paripurna di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, kemarin (16/9/2019).
Dia bahagia karena DPR mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan pengesahan tersebut, lelaki dan perempuan kini baru boleh menikah bila sudah mencapai usia 19 tahun.
”Rasa sedih bercampur bahagia. Saya pengin menangis. Ini kado bagi anak-anak Indonesia yang pernah dijanjikan saat peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli lalu di Makassar,” ucap Yohana sambil sesekali mengusap matanya.
Menurut Yohana, meningkatkan usia perkawinan memberikan banyak keuntungan. Mulai menurunkan angka kematian ibu dan anak, menekan angka putus sekolah, mengurangi angka perceraian, hingga mengoptimalkan pemenuhan hak anak. Khususnya perempuan yang memiliki risiko lebih besar.
Kehamilan di usia muda juga sangat rentan bagi sang ibu maupun janin. Secara fisiologi, kondisi rahim belum matang. Bentuk pinggul masih kecil yang berpengaruh terhadap proses melahirkan. ”Makanya, risiko kematian ibu usia muda lebih besar. Sedangkan bayi yang dilahirkan rentan mengalami stunting,” jelas Yohana. Perempuan yang sudah menikah dan hamil biasanya juga tidak melanjutkan sekolah.
Dari sisi ekonomi, akan muncul pekerja anak. Mereka harus bekerja meski dengan ijazah, keterampilan, dan kemampuan yang rendah demi menafkahi keluarga. Praktis, upah yang didapat juga sedikit. Akibatnya, keluarga tidak sejahtera, kemudian cerai. Karena itu, Yohana menyebut dengan tegas bahwa perkawinan anak adalah kekerasan sekaligus bentuk pelanggaran hak anak dan hak asasi manusia.
Data Badan Pusat Statistik 2017 menunjukkan bahwa 25,2 persen dari jumlah anak perempuan usia di bawah 18 tahun sudah menikah. ”Artinya, satu dari empat anak perempuan menikah pada usia anak,” ucapnya.
Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan. Lantas, bagaimana jika terjadi hamil di luar nikah pada anak di bawah 18 tahun? Yohana menerangkan, dalam revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan, orang tua dari salah satu atau dua pihak dapat mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan agama bagi yang beragama Islam atau pengadilan negeri bagi agama lain. Dengan alasan memang keduanya terpaksa dikawinkan.
Pengadilan agama/negeri wajib mendengarkan pendapat kedua pihak. Juga didukung bukti-bukti yang cukup. Misalnya surat keterangan yang membuktikan bahwa usia kedua mempelai di bawah ketentuan UU. ”Dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan,” jelasnya.
Sumber : Jawapos
Editor : Afrijon