SEJARAH (Infosiak.com) – Sejarah Gerakan 30 September atau G30S PKI merupakan salah satu peristiwa kelam bagi bangsa Indonesia. Aksi G30S PKI yang terjadi pada tahun 1965 merupakan aksi propaganda yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan presiden Soekarno saat itu, serta merubah dasar negara dari pancasila menjadi komunis.
Dalam catatan sejarah, Partai Komunis Indonesia (PKI) disebut sebagai dalang dari pemberontakan tersebut. Partai ini didirikan oleh para tokoh komunis Indonesia pada tanggal 23 Mei 1920.
Dikutip dari buku Kegagalan Kudeta G 30 S PKI karya M.Fuad Nasar, pendirian partai PKI merupakan bentuk transformasi dari Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang didirikan pada bulan Mei 1914 di Semarang. Pendiri ISDV sendiri merupakan tokoh-tokoh Belanda yang berorientasi Marxis, seperti Adolf Baars dan Hendrik Sveevliet.
Sebelum PKI melancarkan aksi yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI), partai komunis ini juga pernah melakukan pemberontakan di Madiun pada bulan September 1948. Upaya kudeta dan pemberontakan yang dilakukan PKI kedua kalinya pada tahun 1965 bertujuan mengubah ideologi negara dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang tidak bertuhan.
PKI merupakan salah satu partai tertua sekaligus terbesar yang pernah ada di Indonesia. Partai ini mampu mengakomodir berbagai kalangan, mulai dari intelektual, militer, buruh, hingga petani.
Menuju Peristiwa G30S PKI:
Pada tahun-tahun menjelang peristiwa G30S PKI, PKI berkembang dengan pesat, kala itu PKI dipimpin oleh Dipa Nusantara Aidit atau dikenal dengan sebutan DN Aidit. Partai kecil yang berperan dalam pemberontakan Madiun 1948 berkembang menjadi partai massa yang besar dan memiliki pengaruh kuat.
Sejak saat itu, muncul dua kubu yang menjadikan rakyat Indonesia terpecah belah. Sebagian rakyat yang anti PKI menolak ideologi komunis yang dibawa partai tersebut, sementara sebagian lainnya mengaku pro terhadap PKI.
Sepanjang tahun 1964-1965 hegemoni PKI semakin merajalela dalam kehidupan bangsa dan negara. PKI sebagai partai komunis saat itu menggunakan segala cara, mulai dari menebar fitnah, aksi teror, hingga upaya provokasi untuk memecah belah rakyat Indonesia.
Peristiwa G30S PKI:
Pemberontakan G30S PKI sebagai upaya kudeta berlangsung pada Kamis 30 September 1965 atau Jumat 1 Oktober dini hari. Peristiwa ini diawali dengan aksi penculikan para jenderal pimpinan TNI Angkatan Darat oleh sejumlah prajurit TNI yang merupakan binaan PKI.
Kudeta 30 September itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung yang merupakan Komandan Batalion Resimen Cakrabirawa dan bertugas sebagai pasukan pengawal istana. Enam jenderal pimpinan Angkatan Darat dan seorang perwira pertama gugur dalam peristiwa tersebut.
Enam jenderal perwira tinggi yang menjadi korban G30S PKI antara lain:
1. Jenderal Anumerta Ahmad Yani.
2. Mayor Jenderal Raden Soeprapto.
3. Mayor Jenderal MT Haryono.
4. Mayor Jenderal Siswondo Parman.
5. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
6. Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan.
Mereka diculik oleh para prajurit TNI binaan PKI di kediamannya masing-masing. Tiga jenderal dibunuh di tempat dalam penyergapan, lalu mayatnya diseret dan dinaikkan ke atas truk. Sementara sisanya diseret kemudian disiksa dan dibantai hingga tewas di Lubang Buaya.
Dalam peristiwa tersebut Jenderal A.H Nasution yang juga menjadi target pertama G30S PKI berhasil menyelamatkan diri. Namun, putrinya Ade Irma Nasution yang saat itu berusia 5 tahun dan Ajudan Jenderal A.H Nasution bernama Lettu Pierre Tendean ikut menjadi korban penyerangan.
Tempat yang menjadi lokasi pembantaian para jenderal TNI dikenal dengan sebutan Lubang Buaya. Di lokasi tersebut didirikan Monumen Pancasila Sakti yang di dalamnya terdapat jejak sejarah peristiwa pemberontakan G30S PKI. Selain itu, pada masa pemerintahan orde baru rutin ditayangkan film G30S PKI pada setiap tanggal 30 September.
Dalam film G30S PKI yang ditayangkan selama sekitar 4 jam itu, ditampilkan adegan penyiksaan serta pembunuhan yang dilakukan oleh para simpatisan PKI. Mereka yang menyiksa para jenderal terdiri dari kelompok pria dan wanita (Gerwani, red) sambil berteriak bunuh, bunuh, bunuh, bahkan ada juga dari mereka yang menghardik para jenderal dengan mengatakan “Darah itu Merah Jenderal”.
Laporan: Atok
Dikutip dari berbagai sumber