PERISTIWA (Infosiak.com) – Sebagian besar rakyat Indonesia tentunya pernah mendengar tentang peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 silam. Pada dini hari menjelang 1 Oktober 1965, telah terjadi tragedi pembunuhan terhadap sejumlah Jenderal (pahlawan revolusi, red) yang didalangi oleh kelompok pemberontak. Dimana peristiwa berdarah tersebut diabadikan dalam catatan sejarah Bangsa Indonesia dengan sebutan “Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia” atau G/30/S/PKI.
Beberapa bulan pasca terjadinya pemberontakan G/30/S/PKI, terjadi gejolak yang luar biasa di Ibukota Jakarta, ribuan mahasiswa dan organisasi kemasyarakatan turun ke Ibukota untuk menggelar aksi demonstrasi menuntut dibubarkannya PKI, karena rakyat menilai bahwasanya PKI telah melakukan kekacauan serta mencoba melakukan kudeta terhadap Pemerintah RI yang sah.
Tak hanya sampai disitu, gejolak aksi demonstrasi besar-besaran di Ibukota yang dilakukan oleh para mahasiswa kembali terjadi pada tahun 1998. Dimana pada saat itu Bangsa Indonesia tengah mengalami keterpurukan ekonomi akibat terjadinya “Krisis Moneter”.
Dalam aksi demonstrasi besar-besaran yang dimotori oleh para mahasiswa di tahun 1998 itu, dikabarkan puluhan mahasiswa meninggal dunia dan ratusan mahasiswa mengalami luka ringan dan berat, akibat bentrok dengan aparat keamanan.
21 tahun berlalu (pasca tragedi 1998, red), pada September 2019 ribuan mahasiswa dari berbagai universitas kembali menggelar aksi demonstrasi besara-besaran di Ibukota. Mereka menuntut Pemerintah dan DPR membatalkan pengesahan Rencana Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) yang dinilai tidak sesuai dengan keinginan rakyat.
Berdasarkan informasi yang diterima Infosiak.com, pada aksi demonstrasi yang terjadi di September 2019 ini, sejumlah mahasiswa telah kehilangan nyawa (meninggal dunia, red) dan ratusan lainnya mengalami luka ringan dan berat. Seolah peristiwa tragis (berdarah, red) di Ibu Pertiwi terulang kembali.?.
Tak hanya tragedi berdarah di Ibukota, pada September 2019 ini, peristiwa yang lebih memilukan juga terjadi di Wamena Papua. Sehingga peristiwa tersebut mengundang komentar dan tanggapan dari para tokoh bangsa. Sebagaimana dikemukakan oleh Din Samsudin.
“Saya Memesankan kepada semua pihak, khususnya pemangku amanat baik pemerintah maupun wakil rakyat, agar segera menanggulangi keadaan dengan penuh kesadaran akan kewajiban dan tanggungjawab,” kata Din lewat keterangan tertulis, Sabtu, (28/09/2019) kemarin.
Unjuk rasa yang digelar di Wamena pada Senin lalu itu berujung kerusuhan. Massa membakar dan merusak berbagai fasilitas umum. Massa juga menyerang warga Wamena. Hingga saat ini korban sudah mencapai hampir ratusan orang.
Din mengatakan, gerakan protes di Wamena itu tak terlepas dari insiden rasisme di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Insiden itu memicu aksi unjuk rasa di Sorong, Manokwari, Jayapura, Jakarta, dan tempat-tempat lainnya yang memprotes ketidakadilan hingga menuntut kemerdekaan.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengatakan gerakan tersebut seharusnya bisa diatasi dan diantisipasi sejak awal dengan menindak cepat dan tegas insiden rasisme di Surabaya. Dia pun menyesalkan respons aparat keamanan dan penegakan hukum yang dinilainya lamban dan tidak adil.
Menurut Din, negara sama saja tak hadir membela rakyat jika kondisi tersebut terus berlangsung. Negara juga gagal menjalankan amanat konstitusi, serta berperilaku tidak adil menghadapi aksi unjuk rasa yang sebenarnya dijamin dalam demokrasi.
“Pemerintah terjebak ke dalam sikap otoriter dan represif yang hanya akan mengundang perlawanan rakyat yang tidak semestinya,” kata Din Samsudin, seperti dilansir Kompas.co.
Laporan: Miswanto/Tok
Editor: Afrijon