KEBERADAAN Ustadz Abdul Somad (UAS) yang muncul dari kebesaran Tanah Melayu Riau selang 3-5 tahun terakhir kini benar-benar sudah jadi milik dunia. Meskipun, para pengagum UAS terasa sangat dominan di kawasan Asia Tenggara atau negeri jiran serumpun Melayu. Popularitas UAS lewat pengajian dan dakwah Islam yang awalnya melejit lewat media sosial terutama Youtube memang tak tertandingi oleh pendakwah Indonesia lainnya baik yang lama maupun baru.
Kenapa dakwah UAS sangat disukai? Sebab, UAS memadukan komunikasi dakwah yang sarat ilmu agama berlandas kitab suci Al Quran dan hadits juga diperkaya humor-humor cerdas yang menggelitik. Keunggulan UAS dalam menghapal ayat dan hadits serta sejarah Islam begitu spontan. Jangan heran, ada orang yang mengkaji bagaimana struktur otak dan daya pikir UAS yang dianugerahi oleh Allah SWT dengan kelebihan yang luar biasa. Dakwah UAS benar-benar ‘enak didengar dan bikin takjub.’
Kehebatan dakwah UAS pula yang menjadikan dirinya jadi impian banyak orang mulai pejabat tinggi, kelas menengah hingga rakyat jelata ingin bertemu atau bersalaman atau pula berfoto. Foto-foto tersebut kemudian bertebaran di medsos sebagai kebanggaan orang yang menyebarkan foto-foto tersebut.
Kisah bagaimana Wapres JK atau Kapolri Jenderal Tito mengundang UAS berceramah di lingkungan kerja. Atau pula saat Petinggi TNI ‘menculik’ jadwal UAS untuk berdakwah di tempat tugasnya benar-benar menunjukkan keunggulan UAS.
Fenomena dakwah UAS di era milenial di mana kekuatan internet dan mesin digital mempercepat popularitas UAS. Tentu saja, para pendakwah terdahulu yang pernah jadi idola ummat pernah meraih puncak popularitas semacam ini. Sebutlah nama-nama KH. Zainuddin MZ, AA. Gym, Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Arifin Ilham dan masih banyak lagi.
Keunggulan UAS yang berdakwah dengan bahasa sederhana namun penuh kajian yang mendalam membuat UAS pasti jadi incaran dalam mendulang dukungan politik. Jangan heran bila dalam konstelasi politik Pilpres 2019, nama UAS disandingkan dengan nama Dr. Salim Segaf pilihan Ijtima’ Ulama untuk mendampingi Capres Prabowo. UAS menolak kepercayaan itu dengan alasan ingin tetap konsusten di jalur dakwah.
Namun, sebagai ulama dan pendakwah yang tidak buta politik, UAS mencermati bagaimana kebijakan pemerintah yang berkuasa dalam memperlakukan para ulama dan kenyamanan hidup beragama di negeri ini. Boleh jadi, UAS tak sepenuhnya merasa nyaman dengan perlakuan yang diterima sebagian ulama terkait dakwah yang disampaikan. Apalagi, UAS terang-terangan sangat menghormati Pimpinan FPI, Habib Riziq Shihab (HRS) yang selama ini sering dianggap agak ‘berseberangan’ dengan pemerintah. Akibatnya, UAS pun bagaikan menjaga jarak secara diam-diam. Namun, tetap tegas menyampaikan sikapnya dalam dakwah-dakwahnya.
Menjelang Pilpres 2019 yang menampilkan kontestasi pasangan Capres 02 Jokowi-Ma’ruf Amin berhadapan dengan Capres 02 Peabowo-Sandiaga S. Uno nampak jelas bagaimana suara pemilih Islam diperebutkan.
Capres petahana Jokowi tentu saja takut sekali kehilangan dukungan suara umat Islam itu. Penunjukan Kyai Ma’ruf jelas sekali untuk menarik simpati umat Islam tersebut terutama setelah Ijtima’ Ulama yang mencalonkan nama Ustadz dan Dr. Salim Segaf untuk mendampingi Prabowo. Tentu saja pengaruh UAS terhadap pemilih Islam sangat ditakuti capres petahana karena efek dominonya bagi pemilih muslim.
Sampai kini, meskipun UAS belum secara transparan menyebut dukungannya pada capres yang mana. Tapi, konsep kepemimpinan politik yang Islami dalam pandangan UAS tentu sejalan dengan capres dukungan para ulama yang mengeluarkan Ijtima’ Ulama. Hal ini sejalan pula dengan suara barisan ulama yang dikomandoi HRS dan Alumni 212 dan beserta onderbouwnyo.
Di sisi lain, padatnya jadwal dakwah UAS berdampak pada kesulitan UAS dalam memenuhi undangan atau permintaan menjadi penceramah dalam acara-acara yang diprakarsai oleh pihak pemerintah. Meskipun hal itu bukan sebuah kesengajaan karena UAS tidak mau membatalkan jadwal dakwah yang sudah disepakatinya -meskipun di musholla kecil di kampung- namun hal ini berakibat dikesankan seolah-olah UAS menghindari pihak pemerintah.
Realitas ini lama-lama semakin mengkristal dan menempatkan posisi UAS semakin ‘frontal’ di mata pemerintah. Banyak peristiwa yang dialami UAS di berbagai daerah berupa ‘penolakan’ oleh sekelompok masyarakat atau organisasi tertentu bahkan sudah mengarah pada cara-cara persekusi ditafsir sebagian pihak sebagai akibat sikap UAS tersebut.
Dalam konstelasi politik jelang Pilpres 2019 yang semakin ‘panas’ keberadaan UAS akan selalu jadi pusat perhatian terutama dari kalangan penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya untuk periode kedua. Sikap netral UAS tentu akan lebih nyaman mengingat UAS adalah ulama yang jadi panutan umat.***
Fakhrunnas MA Jabbar, wartawan dan budayawan, Dosen Universitas Islam Riau, Pekanbaru.