SIAK (Infosiak.com) – Sebagian besar masyarakat Kabupaten Siak sudah tidak asing lagi mendengar istilah “Ghatib Beghanyut”, terutama bagi kalangan masyarakat melayu yang tinggal di tepian sungai jantan (sungai Siak, red).
Berdasarkan penjelasan yang diterima Infosia.com dari Tokoh Masyarakat Siak H Said Muzani, tradisi menggelar dzikir dan doa bersama di atas perahu atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Ghatib Beghanyut”, merupakan suatu ikhtiar yang dilakukan oleh para orang-orang tua terdahulu ketika di Negeri Siak sedang terjadi musibah.
“Dahulu masyarakat Siak kalau terjadi musibah berkepanjangan seperti isyu orang hitam dan wabah penyakit seperti muntaber, malaria, maka orang tua-tua bermusyawarah untuk melakukan ritual tolak bala. Yakni dengan mengadakan dzikir di sungai memakai sampan (perahu, red), yang dimulai dari perkampungan hulu sungai pada malam ba’da maghrib dengan melihat air surut pada sore itu, sehingga sampan berhanyut menuju perkampungan paling hilir,” terang Said Muzani.
Dijelaskannya juga, ritual dzikir di atas perahu yang digelar oleh para orang-orang tua terdahulu tersebut, dimulai dari perbatasan Kampung Rempak dengan Kampung Rawang Air Putih menuju ke arah Belantik.
“Untuk Siak ini sendiri, Ghatib Beghanyut itu biasanya dimulai oleh para orang-orang tua terdahulu dari perbatasan Kampung Rempak dengan Rawang Air Putih (tepatnya di bawah jembatan TASL sekarang, red). Karena dulu tidak ada penduduk di sekitar situ, menuju hingga ke Belantik sambil beratib dipimpin oleh seorang lebai (pemuka agama/imam masjid, red),” lanjut Said Muzani.
Sesampainya di ujung perbatasan kampung paling hilir (sekitar Kampung Belantik sekarang, red), dikumandanglah suara azan dengan maksud menghalau/menolak bala yang tak diingini. Dan setelah itu dipanjatkanlah doa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Lebih lanjut, Tokoh Masyarakat Siak yang juga mantan pendidik (guru, red) MTs Taufiqiyah era 1990 an itu menjelaskan, ritual Ghatib Beghanyut yang digelar di atas sungai Siak itu, bukanlah sesuatu yang aneh atau bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Menyinggung soal apakah ritual Ghatib Benghanyut itu sudah ada sejak zaman berdirinya Kerajaan Siak (zaman Sultan Syarif Kasim, red), Said Muzani belum bisa memastikan, namun menurut cerita para orang tua terdahulu, ritual itu digelar oleh rakyat (masyarakat, red) biasa, bukan diajarkan atau dikerjakan oleh pihak Kerajaan.
“Menurut orang tua-tua dahulu, ritual Ghatib Beghanyut itu ada secara spontan dari masyarakat biasa. Maknanya tidak dikoordinir oleh Kerajaan, karena ini sifatnya dianggap salahsatu ikhtiar masyarakat meminta kepada Allah. Dan ada juga yang berpendapat bahwa ritual Ghatib Beghanyut ini muncul setelah sepeninggal Sultan,” sambung Said Muzani.
Sebutan “Ghatib Beghanyut” merupakan sesuatu yang lazim di lidah masyarakat Melayu Siak, namun secara luas dalam bahasa Indonesia kalimat/kata umumnya adalah “Ratib Berhanyut”. Adanya perubahan dalam penyebutan (pengucapannya, red) tersebut, dikarenakan kebanyakan lidah orang melayu sudah terbiasa menyebut “R” dengan “Gh”.
“Ghatib Beghanyut itu dalam bahasa Indonesianya adalah Ratib Berhanyut, tapi orang Melayu becakap (bicara, red) jarang menggunakan huruf R, semisal dalam menyebut kata “Ramai” orang melayu sering menyebutnya “Ghamai”,” tutup Said Muzani.
Sebagai upaya menjaga dan melestarikan tradisi/ritual para orang-orang tua terdahulu, saat ini Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Siak telah menjadikan kegiatan/acara Ghatib Beghanyut itu sebagai agenda tahunan yang digelar pada setiap tahun, dengan menyertakan para tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Laporan: Miswanto/Tok
Editor: Afrijon