Beranda Opini Kabut Asap, Tutup Perizinan Buka Lahan!

Kabut Asap, Tutup Perizinan Buka Lahan!

272

SETIAP tahun kita harus menghirup asap.
Setiap tahun kita harus merasakan sesak pada pernafasan.
Setiap tahun juga kita harus menggunakan masker sebagai teman setia untuk melangkah.

Asap seakan sudah menjadi rutinitas tiap tahunnya bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah perkebunan, seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan, dll.

Sudah bosan rasanya mulut ini teriak kepada pemerintah untuk mengatakan ‘stop asap’! ‘stop bakar lahan’!. Sudah jenuh juga para mahasiswa untuk turun, hanya karena persoalan yang lagi-lagi ‘asap ke asap’. Banyaknya jumlah korban yang sakit bahkan hingga meninggal pun sudah tidak menjadi cambuk’an lagi bagi para pejabat diluar sana.

Saat ini memang Indonesia sedang menghadapi dua bencana asap sekaligus. Yang pertama bencana ‘hibrida’ (merupakan sebuah bencana yang timbul karna adanya kombinasi antar campur tangan manusia dan alam). Dan yang kedua ialah bencana yang sepenuhnya buatan manusia.

Pertanyaan yang muncul dalam benak saya saat ini ialah ‘kenapa setiap tahun asap ini muncul? Kenapa sampai sekarang belom ada solusi yang tepat dari pemerintah? Untuk kasus asap ini, siapa yang salah? Pemerintahkah atau masyarakat?

Aturan Membuka Lahan

Membuka lahan dengan cara membakar hutan merupakan hal yang secara tegas dilarang dalam undang-undang, yakni diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h UU PPLH, yang berbunyi; Setiap orang dilarang melakukan perbuatan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Baca Juga:  Membangun Budaya Belajar di Sekolah

Adapun ancaman pidana bagi yang melakukan pembakaran lahan ialah penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda antara 3M-10M.

Sementara pada UU lain yang mengatur tentang larangan membuka lahan dengan cara membakar dapat kita temukan dalam Pasal 26 UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang berbunyi; Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.

Hal ini juga didukung dalam peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan. Namun, pembakaran lahan disini tidak berlaku dengan kondisi curah hujan dibawah normal, kemarau panjang dan/atau iklim kering.

Di beberapa daerah juga terdapat peraturan sendiri dalam membuka lahan yang disebut juga sebagai Perda (Peraturan Daerah).

Contoh; Dalam peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010. Dalam perda ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang melakukan kegiatan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara pembakaran, harus dilaksanakan secara terbatas dan terkendali. Setelah mendapatkan izin dari pejabat berwenang (Seperti Gubernur, Bupati/ Walikota).

Baca Juga:  “New Normal” Warga Siak Riau Perlu Disiapkan Agar Tak Muncul Gelombang Kedua

Kesimpulannya

Dari penjabaran aturan UU diatas dapat kita simpulkan bahwa pemerintah sudah melakukan sedemikan rupa akan pencegahan pencemaran lingkungan hidup lewat aturan yang telah disusun. Hanya saja yang menjadi masalahnya ialah prakteknya dalam menjalankan aturan yang telah ada.

Terjadinya pembakaran hutan seluas-luasnya tidak serta-merta kesalahan pemerintah saja. Masyarakat juga ambil andil dalam terjadinya bencana asap. Beberapa masyarakat tidak sedikit yang mengerti arti dari aturan pada Pasal 4 ayat (1) Permen LH 10/2010, berbunyi; Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimun 2 hektar per-kepala keluarga untuk ditanami jenis veriates lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa.

Ketika masyarakat ingin membuka lahan yang mereka tanam dalam pikiran mereka dari Pasal diatas ialah ‘buka lahan boleh dengan cara membakar’ tanpa mempertimbangkan persyaratan tertentu dalam pemrizinan pembakaran lahan (persyaratan yang telah diatur dalam UU). Seperti izin dari pihak yang berwajib, pembakaran lahan tidak berlaku pada kondisi curah hujan yang rendah, musim kemarau berkepajangan, dan lain lain.

Namun dalam kasus ini, pemerintah juga kerap kali dinilai kurang tegas dalam menerapkan aturan. ‘Mentang-mentang keluarga, keponak’an, tetangga, sesuku, sekampung, dll, izin untuk buka lahan dipermudah’. Seharusnya pemerintah harus tegas tanpa pandang bulu. Ketika musim kemarau, curah hujan rendah jangan perbolehkan satu orang pun untuk buka lahan dengan cara membakar. Karena hal ini juga akan merugikan banyak pihak. Baik itu pihak pemerintah sendiri yang harus mengeluarkan anggaran daerah untuk menanggulai akibat dari perizinan terasebut. Belum lagi kerugian yang dialami masyarakat, mulai dari kesehatan, pendidikan, dan sosial-ekonomi.

Baca Juga:  Menkopolhukam Siap Pecat TNI-Polri yang Gagal Atasi Karhutla

Saran saya, agar bencana asap ini tidak terulang setiap tahunnya lagi. Sudah saatnya pemerintah tegas akan aturan yang telah ada. Ketika memasuki musim kemarau tutup semua yang namanya ‘izin buka lahan’. Setelah musim kemarau berlalu, barulah perbolehkan lahan boleh dibuka, dengan syarat adanya pengawasan dan pendampingan dari pihak pemerintah dalam proses pembukaan lahan.

Tidak hanya pemerintah. Masyarakat juga harus mementingkan kepentingan bersama, jangan hanya kepentingan pribadinya saja. Ketika ingin buka lahan bukalah lahan pada musim yang tepat. Pemerintah dan masyarakat harus balance. Pemerintah dan masyarakat harus saling mengawasi agar kejadian ini tidak terulang kembali. Sudah saatnya kita ‘move on’ dari ‘si asap’. Sudah saatnya kita habiskan masa-masa kalender tanpa adanya ‘si asap’.

Oleh : Karlina Veradia Simanungkalit (Penulis : alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi)

loading...