RELIGI (Infosiak.com) – Menjelang tibanya Hari Raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, umat muslim di Indonesia ramai mengucapkan kalimat “Minal ‘Aidin Wal Faizin”. Kalimat tersebut ditujukan kepada rekan kerja, tetangga, karib kerabat, dan orang-orang terdekat lainnya baik lewat pesan chat whatsapp ataupun lewat postingan di media sosial.
Dalam syari’at Islam ataupun dalam kitab-kitab shahih yang ditulis oleh para ‘Ulama, tidak ada ditemukan Satu riwayat pun yang menjelaskan tentang dalil hukum (perintah ataupun larangan, red) pada kalimat tersebut untuk diucapkan pada setiap hari raya.
Meski demikian, ucapan tersebut bisa dikategorikan sebagai ucapan yang baik (thoyyibah, red) karena mengandung pengertian sebagai “Ucapan Doa”.
Pengertian dan Sejarah Ucapan “Minal ‘Aidin Wal Faizin”:
Di kalangan masyarakat Arab ucapan Minal ‘Aidin Wal Faizin tidak begitu populer sebagaimana di Indonesia. Pada saat tibanya hari Raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha umat muslim di Arab cenderung mengucapkan kalimat:
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَ تَقَبَّلْ ياَ كَرِيْمُ .
Artinya: “Semoga Allah SWT menerima ‘amal (puasa) dari kami dan ‘amal dari kalian, kabulkanlah wahai zat yang maha mulia”).
Menurut sejarahnya, kalimat “Taqobbalallahu minna wa minkum wa taqobbal yaa karim” tersebut, merupakan kalimat yang sering diucapkan oleh sahabat Rasulullah SAW ketika bertemu dengan sahabat yang lainnya pada saat hari raya.
Adapun ucapan: من العائدين والفائزين (arab),
memiliki sejarah tersendiri hingga dikenal luas di kalangan umat Islam. Kalimat tersebut memiliki kaitan erat dengan peristiwa terjadinya Perang Badar, yakni perang antara umat Islam melawan Kafir Quraisy.
Dilansir dari berbagai sumber, dalam sejarah Islam perayaan Hari Idul Fitri pertama kali dirayakan pada tahun 624 Masehi bertepatan tahun 2 Hijriyah. Waktu tersebut bertepatan dengan selesainya Perang Badar yang dimenangkan oleh kaum Muslimin. Dimana perang tersebut terjadi pada tanggal 17 Ramadhan.
Atas kemenangan kaum Muslimin di Perang Badar itu, umat Muslim merayakannya secara besar-besaran, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.
Dari kemenangan inilah, muncul ungkapan “Minal ‘Aidin wa Faizin” yang secara utuh kalimat tersebut berbunyi:
“Allahummaj ‘alna Minal ‘Aidin Wal Faizin”.
(Artinya: “Ya Allah, jadikanlah kami golongan orang-orang yang kembali bersih (suci) dan mendapatkan kemenangan). Secara harfiah kalimat tersebut mengandung pengertian ungkapan doa.
Pada perayaan Idul Fitri pertama kali ini, kaum muslimin merayakan dua kemenangan perdana sekaligus, yakni pencapaian ritual puasa Ramadhan setelah berjuang melawan hawa nafsu, dan keberhasilan menang melawan kaum Kafir Quraisy dalam Perang Badar.
Awal Mula Perayaan Hari Raya Idul Fitri:
Sebelum kedatangan Islam di Tanah Arab, kaum Arab Jahiliyah (Musyrikin Quraisy, red) mempunyai dua hari raya yang dirayakan pada setiap tahun. Dalam perayaan itu kaum Jahiliyah berpesta pora dengan mengadakan berbagai ritual yang dibarengi dengan mabuk-mabukan dan tari-tarian mengumbar aurat.
Namun, setelah Rasulullah SAW bersama para sahabat berhasil menaklukkan kaum Musyrikin Quraisy melalui kemenangan besar perang Badar, Rasulullah SAW melarang para sahabat dan umat muslim lainnya untuk merayakan Hari Raya yang biasa digelar oleh kaum Jahiliyah tersebut.
Rasulullah SAW mengganti perayaan Hari Raya kaum Jahiliyah itu dengan perayaan Hari Raya ‘Idul Fitri dan Hari Raya ‘Idul Adha, yang di dalam rangkaian ritualnya diisi dengan menggelar shalat ‘Id dan mengumandangkan takbir (mengagungkan Allah SWT).
Dalam kitab hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengganti perayaan Hari raya kaum Jahiliyah dengan hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas Bin Malik Ra, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
Artinya, “Dari Anas bin Malik, Rasulullah ﷺ bersabda, kaum jahiliyah dalam setiap tahunnya memiliki dua hari raya yang digunakan untuk bermain, ketika Nabi Muhammad ﷺ datang ke Madinah, Rasulullah bersabda: kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha”.
(HR. Abu Dawud & An-Nasa’i).
Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Fil Aqaid menjelaskan, bahwasanya dua hari raya yang setiap tahunnya digunakan untuk berpesta pora oleh kaum Jahiliyah itu disebut dengan hari raya Nairuz dan Marjaan.
Dijelaskan juga, bahwasanya hari raya Nairuz dan Marjaan merupakan Dua hari raya yang menjadi tradisi orang Persia kuno (kaum penyembah berhala, red).
Setelah turunnya kewajiban puasa Ramadhan, Rasulullah ﷺ mengganti hari raya Nairuz dan Marjaan dengan hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Tujuannya, agar umat Islam mempunyai tradisi yang lebih baik dan sejalan dengan apa yang disyariatkan oleh Allah SWT.
Sejak turunnya syari’at perintah puasa Ramadhan, umat muslim diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa selama Satu bulan penuh. Dalam berpuasa umat muslim berjuang/berperang melawan hawa nafsu, termasuk meninggalkan makan-minum sepanjang hari mulai terbit fajar hingga maghrib.
Usai menjalankan ibadah puasa Ramadhan, umat muslim merayakan kemenangan di Hari Idul Fitri 1 Syawal. Dengan demikian, umat muslim pun saling mendoakan antara satu dengan yang lain dengan ucapan “Minal ‘Aidin Wal Faizin” (Semoga kita tergolong orang yang kembali suci dan meraih kemenangan).
Pada moment perayaan hari raya ‘Idul Fitri itu, selain diisi dengan ritual pelaksanaan shalat sunat ‘Id, umat muslim juga melakukan kegiatan saling kunjung mengunjungi ke rumah sanak keluarga maupun karib kerabat untuk mempererat tali silaturrahmi yang biasanya dibarengi dengan saling bermaaf-maafan.
Penulis: Atok