POLITIK (Infosiak.com) – Prabowo pernah berada di pusat kekuasaan. Namun, karena membantu terjadinya perubahan, ia kemudian disingkirkan. Oleh penguasa lama dia dianggap tidak patuh, sementara oleh penguasa baru ia dianggap sebagai bagian dari rezim lama. Itu dilema yang tak mudah dihadapi. Celakanya, banyak orang kemudian telah memanfaatkan penyingkirannya sebagai momen untuk cuci tangan dengan menjadikannya kambing hitam atas sejumlah persoalan.
Tapi, Prabowo tidak pernah menyalahkan (apalagi menyerang) korpsnya, bekas atasannya, penguasa terdahulu, atau siapapun yang sebenarnya bertanggung jawab atas seluruh kesalahpahaman orang yang pernah disangkakan kepadanya. Ia memikul semua risiko dan stigma itu di pundaknya sendiri, meskipun untuk itu ia harus mengalami proses demonisasi hampir sepanjang sejarah Reformasi.
Ia bisa saja melemparkan kotoran pada orang lain, dan ia memang berhak melakukannya, namun ia tidak pernah melakukan hal itu. Ia telan semua itu sendirian.
Dari Istana ia tersingkir menjadi paria, baik secara politik maupun sosial. Sebagai warga negara, ia bahkan pernah mengalami tak mendapat perlindungan dari negaranya sendiri.
Apa itu membuatnya dendam? Memelihara kesumat? Mungkin bagi orang lain, tapi tidak untuk Prabowo.
Selama dua puluh tahun ia merangkak dan kemudian membangun kembali karir politiknya. Hampir dari nol. Bahkan minus, mengingat banyaknya stigma yang pernah dipikulnya.
Sebagai pensiunan tentara, ia tak membangun kembali karir politiknya dengan modal tank atau bedil. Ia mengikuti jalan demokrasi dengan membangun partai politik. Jangan mengira ini adalah pilihan jalan yang mudah.
Tolong dicatat, ada berapa partai politik yang pernah dilahirkan oleh para senior dan atasan Prabowo setelah Reformasi? Tapi, di mana partai-partai itu sekarang? Semua yang pernah menenggelamkan Prabowo, telah lebih dulu tenggelam. Bahkan, sejak lama. Dan tidak ada satupun partai-partai itu yang pernah lebih besar dari Golkar. Tapi, lihatlah Prabowo dan partai yang dibesutnya, Gerindra.
Jadi, selama 20 tahun Prabowo berada di luar kekuasaan. Dan sesudah mendirikan partai, selama 15 tahun ia dan partainya menjadi oposan pemerintah.
Di sisi lain, orang yang mengkritik Prabowo tidak tahan menjadi oposisi, justru orang yang tak pernah tercatat jadi oposan pemerintah. Pekerjaannya dalam sepuluh tahun terakhir bahkan selalu berada di lingkaran kekuasaan eksekutif.
Pada masa Presiden SBY, ia pernah ikut konvensi Partai Demokrat, yang menjelaskan bagaimana posisinya terhadap rezim berkuasa. Lalu di periode pertama Presiden Joko Widodo, ia pernah jadi juru bicara dan kemudian anggota kabinetnya. Sesudah terlempar dari kabinet, ia menjadi gubernur.
Meskipun partai pengusungnya saat jadi gubernur adalah partai oposan, apakah itu kemudian menjadikannya sebagai gubernur oposisi? Tentu saja tidak. Sebab, gubernur adalah bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif di bawah presiden.
Jadi, dengan segala hormat kepada Mas Anies, jika Anda konsisten dengan pernyataan bahwa menjadi oposisi itu terhormat, pernyataan itu sebenarnya lebih relevan disampaikan kepada dua partai pengusung Anda. Mintalah dua partai pengusung Anda untuk keluar dari kabinet, agar tema kampanye Anda jadi relevan. Bisakah Anda menyampaikan hal itu kepada dua ketua umum partai yang mengusung Anda?!
Oh, ya, saya lupa. Bahkan untuk menentukan calon wakil Anda saja Anda sekadar diberi tahu, bukan diajak berunding.
Saya pribadi juga termasuk orang yang tidak menyetujui Prabowo masuk ke dalam pemerintahan Jokowi. Tapi, secara politik, sebagai warga negara yang pikirannya tak berbeda jauh dengan Anda, kini saya melihat pilihan itu sebagai mungkin lebih baik dan menguntungkan bagi masa depan demokrasi kita.
Kenapa begitu?
Kita harus bersikap realistis bahwa pecahnya kongsi antara Jokowi dengan PDIP adalah momen penting yang lebih menguntungkan masa depan demokrasi. Anda bisa bayangkan, apa jadinya jika kongsi itu tidak pecah di Pemilu 2024 ini?!
Tentu saja bukan Prabowo yang telah memecahkan kongsi antara Jokowi dengan PDIP. Tapi, sulit membayangkan kongsi politik itu bisa pecah menjadi sebagaimana yang kini kita lihat jika Prabowo tidak pernah masuk ke dalam pemerintahan. Dan perpecahan politik itu, sekali lagi, justru malah baik bagi prospek demokrasi kita depan. Karena kekuasaan status quo mau tidak mau jadi terbagi, tidak lagi terkonsentrasi di satu kubu.
Memilih pemimpin memang bukan hal mudah. Tapi kita mungkin sepakat, jika karakter adalah faktor pertimbangan yang sangat penting. Banyak orang secara sambil lalu sering menyebut Prabowo sebagai pemimpin emosional, atau temperamental, mengingat gaya penampilan publiknya. Tapi penting untuk dicatat, di luar ekspresi penampilan publiknya yang meledak-ledak, Prabowo tidak pernah sekalipun menyerang atau menjatuhkan orang di depan publik, meskipun terhadap orang yang pernah menyakiti, mengkhianati, atau mengecewakannya.
Saat Ibu Mega dan PDIP mengingkari Perjanjian Batutulis, misalnya, Prabowo tidak pernah bikin konferensi pers dan mengekspresikan kemarahan dan kekecewaannya di depan publik. Bandingkan sikap ini dengan sikap tokoh lain saat menghadapi kekecewaan politik serupa.
Mungkin mudah bagi Anda untuk menahan diri, jika Anda tidak pernah disakiti, dikhianati, atau dikecewakan. Tapi Prabowo, orang yang sering dicap temperampental itu, terbukti bisa menyimpan kemarahan dan kekecewaan pribadinya tetap berada di relung hatinya. Ia hanya meledak-ledak untuk urusan yang bersifat publik saja.
Sesudah jatuh terhempas, dalam dua puluh tahun terakhir ia dengan sabar terus merangkak dan tertatih, sebelum kemudian mulai bisa berjalan dan berlari membangun karir politiknya. Terus terang, hari ini cukup sulit menemukan orang dengan daya juang dan karakter sekuat itu.
Itu adalah mental dan karakter yang tak bisa disepelekan dengan ucapan mengecilkan secara sambil lalu, sebagaimana yang secara gegabah diucapkan Anies tadi malam.
(Tarli Nugroho)