Beranda KESEHATAN Telat Bayar Iuran BPJS Kesehatan, Ini Akibatnya

Telat Bayar Iuran BPJS Kesehatan, Ini Akibatnya

589
Print Friendly, PDF & Email

JAKARTA (Infosiak.com) – Program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan berdampak besar pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Sejak program ini bergulir 1 Januari 2014, masyarakat semakin mudah mengakses pelayanan kesehatan. Masyarakat tidak perlu takut menyambangi fasilitas kesehatan untuk mendapat pelayanan karena BPJS Kesehatan akan melakukan penjaminan sesuai ketentuan yang berlaku.

Penting untuk diingat, peserta yang mendapat manfaat JKN-KIS harus menunaikan kewajibannya terlebih dulu, diantaranya membayar iuran secara rutin setiap bulan. Peserta yang tidak membayar iuran secara rutin akan rugi. Mengapa demikian, sesuai dengan Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2016 mengatur sanksi bagi peserta yang telat bayar iuran lebih dari sebulan, yaitu penjaminan kepada peserta dihentikan sementara Penjaminan akan aktif kembali setelah peserta melunasi semua tunggakan dan membayar iuran pada bulan berjalan.

Ketika status kepesertaan kembali aktif, peserta bisa mendapat pelayanan kesehatan yang dijamin BPJS Kesehatan di tingkat fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) dan rawat jalan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Namun,  apabila dalam rentang waktu 45 hari setelah status kepesertaan aktif dan peserta membutuhkan pelayanan rawat inap yang dijamin BPJS Kesehatan, dikenakan denda 2,5 persen dari total diagnosis akhir dikali jumlah bulan tertunggak.

Baca Juga:  Penunggak Iuran BPJS Kesehatan Bakal Ditagih Pemerintah Lewat Cara Ini

Untuk jumlah bulan tertunggak yang digunakan sebagai acuan denda maksimal 12 bulan. Sekalipun peserta menunggak iuran 24 bulan, yang digunakan sebagai acuan pembayaran denda hanya 12 bulan. Selain itu besaran denda pelayanan paling tinggi hanya Rp 30 juta.

Aturan ini ditujukan untuk mendorong peserta agar rutin membayar iuran. Kabar baiknya, aturan denda ini tidak berlaku untuk peserta yang masuk kategori tidak mampu. Tapi peserta itu harus memenuhi syarat di antaranya mendapat surat keterangan tidak mampu dari instansi terkait.

Dihitung Setiap Diagnosis

Denda pelayanan untuk rawat inap yang dikenakan itu dihitung untuk setiap diagnosis. Jika dalam jangka waktu 45 hari itu peserta dirawat inap lebih dari sekali dengan diagnosis yang berbeda-beda, denda dikenakan untuk setiap diagnosis. Misalnya, dalam rentang waktu 45 hari peserta didiagnosis usus buntu dan dirawat inap. Setelah dinyatakan sembuh dan pulang ke rumah, beberapa hari kemudian peserta didiagnosis penyakit lain dan dirawat inap. Mengacu hal tersebut, maka peserta yang bersangkutan harus membayar denda untuk masing-masing diagnosis.

Baca Juga:  Kenapa Jenazah Korban Positif COVID-19 Dibungkus Plastik?

Namun, jika diagnosisnya tidak berbeda, masih terkait dengan penyakit sebelumnya, dan peserta butuh rawat inap lagi, maka peserta tidak perlu membayar denda untuk pelayanan rawat inap yang kedua. Sebab, peserta sudah membayar denda pada diagnosis pertama.

Perlu diingat, dalam menghitung denda itu bisa jadi besaran denda yang dibayar peserta kurang atau lebih karena yang menjadi acuan, yaitu diagnosis sementara. Kelebihan atau kekurangan biaya yang ditanggung peserta itu akan dihitung pada tahap akhir pelayanan dan mengacu diagnosis terakhir.

Baca Juga:  Expose Perkembangan Program RSUD Siak, dr Benny: Kemampuan SDM Mesti Terus Ditingkatkan

Misalnya, mengacu diagnosis sementara, peserta harus membayar denda Rp 10 juta. Setelah dibayar peserta mendapat pelayanan rawat inap. Namun, mengacu diagnosis akhir denda yang jadi tanggungan peserta hanya Rp 3 juta, selisih pembayaran itu akan dikembalikan kepada peserta. Begitu pula sebaliknya jika diagnosis sementara biayanya lebih kecil daripada diagnosis akhir, maka peserta harus membayar kekurangannya.

Aturan denda sebagaimana amanat Perpres No.19 Tahun 2016 itu ditujukan untuk meningkatkan kesadaran peserta terhadap pentingnya rutin membayar iuran. Dalam perjalanan program JKN-KIS selama ini ada peserta yang sudah menggunakan manfaat tapi tidak mau menanggung beban iuran. Ujungnya, iuran tidak dibayar tepat waktu.

Kondisi itu merugikan peserta yang rutin bayar iuran karena dia harus menanggung biaya peserta lain yang tidak tertib membayar iuran tapi menggunakan manfaat JKN-KIS. Padahal, prinsip JKN/KIS itu gotong royong, tapi ada peserta yang mengabaikan itu, tidak rutin bayar iuran.

Sumber : Liputan6
Editor : Afrijon

loading...